BLOG RESMI PERSATUAN PEMUDA
PEMUDA SEDUNIA BERSATULAH

Senin, 29 November 2010

FNPBI Anggap Pemberian HP Bagi TKI Bukan Solusi


Federasi Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) menganggap solusi Presiden SBY untuk mengatasi persoalan TKI, yaitu dengan memberikan hand phone (HP) kepada setiap TKI, sebagai solusi gampangan dan tidak akan menyelesaikan masalah mendasar.

Meski TKI akan dilengkapi dengan HP, hal itu tidak akan banyak membantu jikalau TKI tidak berdaya di hadapan si majikan, karena misalnya si TKI tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pasti.
Sebaliknya, FNPBI menganggap solusi itu akan menjadi lahan bisnis baru antara pihak pemerintah dengan perusahaan telepon seluler, dan juga akan menjadi lubang baru untuk praktik korupsi.
Selebihnya, dalam anggapan Lukman, ketua Umum FNPBI yang baru, akan menjadi modus baru untuk menarik iuran atau beban baru bagi para TKI.

Sebaliknya, FNPBI mendesak pemerintah untuk mencarikan solusi yang lebih menjangkau persoalan mendasar, terutama sekali perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.
Sebagai misal, FNPBI menekankan pentingnya pemerintah melakukan upaya diplomasi dengan Negara-negara penerima TKI, supaya membuat perjanjian bilateral yang mengharuskan sanksi keras terhadap pelaku kekerasan terhadap TKI Indonesia.
Disamping itu, pemerintah mestinya memperbaiki mekanisme pengiriman TKI ke luar negeri, misalnya memberantas birokrasi yang korup, menindak PJTKI yang nakal, membuat pusat-pusat informasi bagi TKI, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, perlu juga memberikan pelatihan untuk meningkatkan skill dan keterampilan TKI, dan mengorganisasi para TKI dalam serikat-serikat buruh agar mereka bisa melindungi diri dan memperjuangkan hak-haknya.


Solusi Mendasar
Jika diandaikan harga per Hp untuk setiap TKI adalah Rp500 ribu, maka pemerintah setidaknya harus mempersiapkan anggaran sebesar Rp3 trilyun. Nah, jika harga HP lebih tinggi dari itu, maka anggaran yang diperlukan tentu akan lebih besar.
Bagi FNPBI, anggaran sebesar itu akan lebih berguna jika dipergunakan untuk membangun pabrik atau infrastruktur, yang memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja.
Dalam persoalan ini, FNPBI menekankan kemendesakan untuk segera membenahi industri dalam negeri yang kian terpuruk akibat badai neoliberalisme.
Ada banyak orang yang memaksakan diri untuk mencari pekerjaan di luar negeri dikarenakan lapangan pekerja di dalam negeri sangat sulit.
Disamping itu, kesenjangan upah antara Indonesia dengan Negara lain juga seringkali menjadi penyebab, sehingga perlu untuk menghapuskan politik upah murah yang merendahkan pendapatan pekerja.

Rakyat Miskin Menolak Pendataan Menggunakan Kriteria BPS

Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) menggelar aksi untuk memprotes kebijakan Walikota Bandar Lampung yang melakukan pendataan ulang rakyat miskin dengan mempergunakan 14 kriteria versi BPS.
Aksi dilakukan di depan kantor Walikota Bandar Lampung sejak pagi, yang mana para demonstran menyampaikan “kecaman keras” terhadap Walikota Bandar Lampung, Herman HN.
Ketua SRMI Bandar Lampung, Silvia menegaskan bahwa penggunaan kriteria miskin versi BPS sangat manipulatif, dan cenderung dipergunakan untuk menutupi fakta kemiskinan yang nyata di masyarakat.
Perwakilan demonstran diterima untuk berdialog dengan pejabat yang mewakili Walikota Bandar Lampung, Zainudin, Kasubag Humas Pemkot Bandar Lampung. Akan tetapi, pertemuan ini tidak membawa hasil yang maksimal. Pihak Pemkot hanya menjanjikan pertemuan dengan pihak Walikota Bandar Lampung.

Merugikan Rakyat miskin
Walikota Bandar Lampung yang baru ini, Herman HN, sempat membuat gebrakan di masa awal pemerintahannya, seperti pemberlakuan pengurusan KTP, KK, dan akta kelahiran secara gratis.
Namun, seperti kata pepatah “karena nila setitik, maka rusak susu sebelanga”, kebijakan Pemkot untuk mendata orang miskin dengan menggunakan kriteria miskin versi BPS telah merugikan rakyat miskin.
SRMI Bandar Lampung sangat menyakini, bahwa kebijakan ini akan menyebabkan banyak orang miskin tidak termasuk dalam data kemiskinan pemerintah, sehingga mereka pun luput dari program bantuan.

Pembusukan Negara dan Keresahan Rakyat

Diangkatnya Jaksa Agung dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru kembali memberi kepastian kesetengah-hatian pemerintah menyelesaikan masalah hukum di republik ini. Kemarin (27/11) presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengangkat Basrief Arief sebagai Jaksa Agung menggantikan Hendarman Supandji. Sebelumnya, komisi III DPR RI telah memilih Busyro Muqoddas untuk memimpin KPK. Tidak ada prestasi istimewa yang dicatatkan oleh dua figur ini sehingga wajar saja keraguan terhadap komitmen penegakan hukum di negeri ini semakin menjadi-jadi. Basrief Arief sebelumnya pernah menjadi salah satu petinggi di lembaga kejaksaan tepatnya sebagai Jaksa Agung Muda bidang Intelejen. Sementara Busyro Muqoddas, meski pernah menjabat sebagai ketua Komisi Yudisial, namun dalam kiprah secara kesuluruhan belum cukup teruji komitmennya melawan korupsi. Terpilihnya dua pimpinan lembaga ini melengkapi “komposisi tidak berdaya” dari jajaran penegak hukum termasuk di dalamnya institusi kepolisian.
Disadari atau tidak, keputusan untuk mengangkat figur-figur tersebut akan kembali membawa lembaga-lembaga penegakan hukum ke dalam persoalan lama yang sama: tetap korup, tidak kredibel, mudah disogok, dsb. Dengan demikian, pembusukan terhadap negara, seperti yang sangat telanjang ditunjukkan dalam kasus “jalan-jalan” Gayus Tambunan, akan terus berlanjut. Bahkan, terkesan kuat bahwa keadaan lemahnya kepemimpinan dalam institusi penegak hukum justru sengaja dibuat agar dapat dimanfaatkan oleh penguasa politik. Namun penguasa politik, dengan dalih pembagian fungsi trias-politika, selalu mengelak dan melempar kesalahan pada pihak lain.

Sungguh tak elok pemandangan di tataran elit penguasa ini, ketika pembusukan terus terjadi, dan rakyat semakin dihimpit berbagai kesulitan hidup akibat kesalahan pada kebijakan ekonomi ditambah ketidakbecusan para pejabat negara. Mayoritas aparatus pemerintahan berjalan dalam rencana dan kepentingan mereka sendiri, sementara rakyat tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari penguasa yang selalu tampak sibuk. Buruh tetap bergolak menuntut kondisi hidup yang lebih layak, pedagang dan kaum miskin berjuang melawan penggusuran, petani terus mengalami bencana, sampai TKI yang mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Sajian berita di berbagai media massa akhir-akhir ini menyiratkan parahnya situasi bangsa yang membutuhkan solusi segera.

Berbagai persoalan yang datang silih berganti adalah bukti dari ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono menjalankan amanat. Justru pemerintah seperti sengaja mempertahankan kebusukan tersebut dan lepas dari tanggungjawabnya. Hal ini sangat berbeda dengan tradisi di negeri lain yang lebih maju, di mana penguasa yang masih punya malu akan bertanggungjawab dan mengundurkan diri ketika gagal memimpin. Kesenjangan antara rakyat yang resah dan negara yang membusuk sampai hari ini tidak terjembatani bahkan terus melebar. Sementara kekuatan-kekuatan politik dominan, khususnya di DPR, tidak menunjukkan kehendak untuk mengambil langkah perubahan yang fundamental. Perubahan hanya menyentuh permukaan, atau parahnya sekadar citra empati melalui media massa, seolah peduli tapi hanya di bibir. Sampai kapan kondisi ini akan kita biarkan?

Kekacauan Pelayanan dan Rencana Privatisasi Garuda

Beberapa hari ini masyarakat disuguhi berita pembatalan penerbangan Garuda Indonesia Airways (GIA) yang konon diakibatkan “perubahan sistem operasional”. Pihak maskapai Garuda menjelaskan bahwa saat ini tengah diterapkan sebuah sistem baru untuk mempermudah pelayanan kepada konsumen. Sangat mungkin, perubahan sistem ini berkaitan dengan rencana penggabungan Garuda dalam aliansi dengan maskapai penerbangan internasional lain dalam Skyteam. Sejauh ini hanya hal-hal positif yang diterangkan oleh pihak maskapai maupun pemerintah terkait rencana penggabungan ini.

Sejalan dan searah dengan hal tersebut, sejak tahun 2009 lalu pemerintah, dengan persetujuan DPR, telah merencanakan penjualan maskapai plat merah ini (privatisasi) melalui Initial Public Offering (IPO) sebagaimana yang terjadi terhadap PT. Krakatau Steel. Rencana IPO terhadap Garuda Indonesia akan dilakukan pada bulan Januari 2011. Kita mengenal pola jahat seperti ini yang diberlakukan terhadap berbagai BUMN, dimana kekacauan pelayanan dan atau manajemen kemudian menjadi kambing hitam penjualan aset negara atau alasan penjualan dengan harga yang murah.

Sudah pada tempatnya, bila masyarakat mempertanyakan akal sehat pemerintah ketika kesalahan pada persoalan manajemen justru ditimpakan pada masalah kepemilikan oleh negara. Seperti halnya kita mempertanyakan obral murah Krakatau Steel karena kongkalikong sebagai satu persoalan, dan penjualan Krakatau Steel itu sendiri yang merupakan aset ekonomi strategis milik negara sebagai persoalan yang mendasar. Tumpukan persoalan pada proses penjualan seakan ingin mengelabui pandangan kita terhadap penjualan demi penjualan yang terus terjadi. Kita disibukkan pada persoalan-persoalan ‘teknis’ yang sarat akan skandal korupsi dan sejenisnya, sementara persoalan yang lebih bersifat fundamental (ideologis) seperti sengaja dilupakan.

Disadari bahwa kepemilikan BUMN oleh struktur dan sistem negara yang membusuk seperti sekarang merupakan satu persoalan. Terlebih pemerintah, sebagai pemegang tanggungjawab pengelolaan aset, selalu tampak lepas tangan terhadap berbagai pembusukan yang terjadi, sehingga keadaan ini dijadikan alasan untuk melepas kepemilikan kepada swasta. Situasi yang carut marut ini diperkeruh oleh komentar para ekonom pro-neoliberal yang mengamini privatisasi sebagai langkah pertanggungjawaban kepada publik atau transparansi. Di sini kami mempertanyakan, apakah dengan kepemilikan oleh negara BUMN-BUMN tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap publik?
Kasus kekacauan pelayanan yang terjadi pada maskapai Garuda saat ini kembali menjadi early warning (peringatan dini) bagi segenap kekuatan yang pro-kepentingan nasional untuk menaruh perhatian pada proses privatisasi yang sedang berlangsung dan mencegah kelanjutannya. Terlebih maskapai penerbangan ini mempunyai nilai historis tersendiri sehubungan dengan pengambilalihan korporasi milik bekas penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang ekonom kerakyatan Sri-Edi Swasono dalam sebuah artikel bahwa privatisasi adalah langkah awal asingisasi, yang dalam konteks tersebut menempatkan modal pada posisi sentral-substansial. Mencegah privatisasi bukan dalam maksud untuk menempatkan penguasa/pemerintah sebagai sentral-substansial, melainkan memastikan kepemilikan oleh negara—yang secara mendasar berarti dimiliki oleh rakyat.

Bung Karno dan Konsep Persatuannya


Membicarakan konsep front persatuan, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebutkan nama Bung karno dan gagasan-gagasan politiknya. Ia memegang teguh keyakinan politiknya sejak awal hingga akhir, termasuk keyakinannya soal persatuan nasional yang dinamainya Nasakom, akronim dari nasionalis, agama, dan komunis.
Ada banyak yang mengatakan, pemikiran Bung Karno mengenai Nasakom adalah yang paling orisinil dan acceptable di Indonesia. Sedangkan tak sedikitpula yang mencibir, bahwa persatuan nasional nasakom hanya konsep belaka dan akan berantakan jika dipraktekkan.
Kondisi Yang Melahirkan Gagasan Persatuan
Bung Karno menginjak masa kematangan dalam pergerakan untuk kemerdekaan nasional dengan melalui dua fase penting. Pertama, ketika dia tinggal di Surabaya, yaitu rumah Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan nasional kenalan bapaknya. Rumah Tjokroaminoto merupakan “universitas politik” bagi Bung Karno, dimana ia bisa bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan dan menyerap teori-teori politik mereka.
Kedua, ketika Bung Karno melanjutkan sekolahnya di HBS Bandung, tempat dimana ia mendengarkan kuliah-kuliah dari sosialis-demokrat dan demokrat radikal Belanda. Di Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh, tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.
Kedua pengalaman itu sangat mempengaruhi gagasan-gagasan politik Bung Karno muda. Di satu sisi, dia sangat kagum dengan guru dan sekaligus mertuanya, Tjokroaminoto, tetapi kurang puas dengan langkah moderatnya. Sedangkan, pada sisi yang lain, dia semakin menyerap teori-teori baru (nasionalisme radikal dan sosialisme) dan memantapkan diri untuk terbenam dalam perjuangan anti-kolonialisme dan pembebasan rakyat.
Namun, pada tahun 1921, Bung Karno mulai menyaksikan dinamika yang sangat cepat di kalangan pergerakan; saling kritik, perpecahan, dan persatuan.
Ada beberapa hal yang menandai situasi gerakan pada kurun waktu 1921 hingga 1926 (lahirnya tulisan Bung Karno: Marxisme, nasionalisme, dan islamisme). Pertama, semakin menguatnya pengaruh gerakan rakyat yang menolak untuk mengemis kemajuan kepada pihak kolonialis Belanda. Partai-partai ini, terutama sekali PKI dan Indische Partij, telah memaklumkan sikap non-koperasi terhadap pemerintahan kolonial. Bung Karno dalam sebuah pidato menggebu-gebu di tahun 1923, mengatakan: “….Sudah tiba saatnya untuk tidak lagi mengemis-ngemis, tetapi adalah menuntut kepada tuan-tuan kaum Imperialis.”
Seiring dengan periode surutnya gerakan mengemis-ngemis itu, maka pamor tokoh-tokoh semacam Tjokroaminoto dan Dr. Soetomo pun semakin merosot di mata kaum pergerakan dan rakyat.
Kedua, Bung Karno menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih)  telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.
Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.
Ketiga, Bung Karno menyaksikan kesuksesan setidaknya 17 organisasi mendirikan front persatuan yang diberi nama ‘Konsentrasi Radikal’, yang menggabukan organisasi, diantaranya, Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia.
Konsep Persatuan: Nasionalis, Islamis, Dan Marxis
Pada tahun 1926 Bung Karno mengeluarkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dimana ia menegaskan bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah “kebesaran dan kemerdekaan”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka.
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” demikian ditulis Bung Karno untuk menyakinkan keharusan front persatuan tiga kekuatan itu.
Dengan meminjam kata-kata Gandhi dan pengalamannya, Bung Karno telah menunjukkan bahwa kaum nasionalis bisa bersatu dengan kaum marxis dan pan-islamisme.
Bung Karno membedakan antara nasionalis sejati, yaitu nasionalis cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, dengan nasionalis chauvinis. Menurut pendapatnya, nasionalis sejati akan terbuka untuk bekerjasama dengan golongan politik lain yang memiliki tujuan sama.
Demikian pula terhadap islam, Bung Karno telah membedakan antara islam kolot dan islam sejati. “Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim,” tulis Bung Karno.
Ditariknya pendekatan mengenai kesamaan antara islam dan marxisme, yaitu sama-sama bersifat sosialistis, dan letakkannya musuh bersama bagi keduanya; kapitalisme (paham riba).
Sementara terhadap kaum Marxis, Bung Karno telah mengambil taktik perjuangan kaum marxis yang baru, yaitu “tidak menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia”. Untuk menyakinkan kaum marxis, Bung Karno mengambil contoh: Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.
Sesuai dengan keadaan Indonesia
Konsep persatuan diantara tiga kekuatan itu tidaklah jatuh dari langit, ataupun dari imajinasi biasa dari Bung Karno, melainkan dipetik dari kenyataan real dari keadaan Indonesia.
Bung Karno adalah salah seorang dari berbagai tokoh gerakan pembebasan nasional yang tidak menginjakkan kakinya di luar negeri, namun menyerap ilmu pergerakannya dari tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan, seperti Tjokroaminoto, Tjipto Mangungkusumo, dan lain-lain.
Pengetahuannya mengenai marxisme didapatkan dari kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah kaum sosialis Belanda, dan paling banyak didapatkan dari berbagai literatur marxis yang dibacanya.
Tetapi Bung Karno bukan seorang dogmatis, ia selalu berhasil meletakkan teori itu dalam syarat-syarat keadaan Indonesia dan dipergunakan untuk mencapai satu tujuan; Indonesia merdeka!
Demkian pula saat mengeluarkan konsep persatuan tiga kekuatan itu, Bung Karno telah mengambilnya dari kenyataan politik di Indonesia. Bagaiaman Bung Karno bisa membangun konsepsi persatuannya:
Pertama, Bung Karno adalah orang yang paling tekun dalam mempelajari berbagai aliran politik dalam gerakan nasional Indonesia. Dalam penyelidikan dan pengamatannya secara langsung, ketiga aliran itulah yang mewakili perjuangan melawan kolonialisme dan mewakili pengaruh luas di kalangan rakyat.
Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat Islam, meskipun tidak pernah terdaftar sebagai pengurus. Dia juga sering menemani Tjokroaminoto dalam menghadiri rapat-rapat akbar (vergadering) dan pertemuan-pertemuan.
Selain itu, ketika beraktivitas di Bandung, Bung Karno juga sangat dekat dengan tokoh nasionalis radikal, khususnya Tjipto Mangungkusumo, yang oleh belanda dikenal dikenal sebagai ”elemen paling berbahaya dalam gerakan rakyat di jawa.
Dari segi pemikiran, Bung Karno sangat dipengaruhi oleh nasionalis-nasionalis progressif, terutama Gandhi dan Sun Yat Sen. Dia juga bersentuhan dengan pemikiran nasionalis-nasionalis lain macam Mazzini, Cavour, dan Garibaldi.
Terhadap gerakan komunis, Bung Karno sangat tekun mempelajari marxisme dan menyebut dirinya sebagai Marxis. Semasa di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno telah berkenalan dengan Snevleet, Baars, dan orang-orang Indonesia: Semaun, Musso, Tan Malaka, dan Alimin. Bahkan Bung Karno mengakui bahwa Marhaenisme, hasil temuannya sendiri, adalah marxisme yang dicocokkan dan dilaksanakan menurut keadaan Indonesia.
Kedua, Bung Karno, seperti juga kaum marxis pada umumnya, mengakui adanya kontradiksi tak terdamaikan antara kolonialisme/imperialisme dengan rakyat Indonesia, atau dalam bahasa Bung Karno: pertentangan sana dan sini; sana mau kesana, sini mau ke sini.
Dengan begitu, tidak benar juga kalau dikatakan front persatuan ala Bung Karno ini terlalu eklektis, sebab pembedaan sini dan sana itu sudah merupakan sebuah pembedaan yang jelas, gamblang.
Bung Karno sangat menyakini, bahwa jika ketiga kekuatan ini dapat disatukan dalam sebuah persatuan, maka dia menjadi gabungan kekuatan yang maha dahsyat. Karena, menurut perhitungan Bung Karno, gabungan kekuatan ini meliputi 90% paling sedikit daripada seluruh rakyat Indonesia.
Lapangan Praktek
Pada bulan September 1927, berpidato di hadapan peserta kongres Partai Sarekat Indonesia, Bung Karno telah mengusulkan untuk mendirikan semacam federasi diantara organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Ide yang dilemparkan Bung Karno mendapat sambutan luas, dan kepada Bung Karno diserahi tugas untuk merancang konsep persatuannya. Dan, pada desember 1927, enam organisasi politik telah bersepakat mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Namun, Bung Karno berhasil menyatukan perbedan-perbedaan diantara organisasi terkait taktik, khususnya soal koperasi dan non-koperasi, dengan mengatasnamakan tujuan kemerdekaan. Akan tetapi, sebagai konsekuensi logisnya, Bung Karno gagal membawa federasi ini menjadi radikal.
Beberapa front persatuan sesudahnya, seperti Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI), dimana Partindo tergabung di dalamnya, sedikit-banyaknya sesuai dengan konsep persatuan ala Bung Karno.
Lebih jauh lagi, rumusan persatuan tiga kekuatan ini akan sangat nampak pula dalam pidato Bung Karno mengenai dasar negara di depan BPUPKI, 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai “Pancasila”. Rumusan Pancasila adalah rumusan dari tiga kekuatan; nasionalis, agamais, dan marxis. Bung Karno mengatakan, pancasila itu dapat diperas menjadi tiga, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi. Ketiga perasan pancasila tersebut, lanjut Bung Karno, masih dapat diperas lagi menjadi satu, atau sering disebut Ekasila, yaitu: Gotong Royong.
Belakangan, Bung Karno mempersamakan antara pancasila, Gotong-royong, dan Nasakom (nasionalis, Agama, dan Komunis). “Nasakom adalah perasan dari pancasila, dus nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong, sebab gotong royong adalah de totale perasan dari pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah gotong royong pula,” demikian kata Bung Karno pada pembukaan kursus kilat kader Nasakom, 1 Juni 1965.
Pada tahun 1959, Soekarno telah memprakarsai pembentukan Front Nasional, yang tujuannya adalah menuntaskan revolusi nasional dan dibentuknya sebuah masyarakat adil dan makmur. Soekarno, yang telah berhasil menyakinkan PKI, berusaha menghidupkan kembali kolaborasi antara kaum nasionalis, agamais, dan marxis untuk menghadapi imperialisme.
PKI sendiri sangat menyambut uluran tangan Bung Karno untuk bersama-sama melawan imperialisme. Dan, di akhir tahun 1960-an, sebagaimana dicatat oleh Rex Mortimer, PKI telah secara terbuka menegaskan untuk mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional.
Sebetulnya Front Nasional dirancang untuk memobilisasi seluruh kekuatan rakyat guna melawan imperialisme. Dan, untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Soekarno menganjurkan agar Front Nasional dibangun hingga ke dusun-dusun. Sayang sekali, niat ini tidak sepenuhnya berjalan dan lebih banyak disabotase.
Di penghujung 1965, ketika sebuah kudeta merangkak berusaha menggusur dirinya dari kekuasaan, Soekarno menolak pertumpahan darah dan memilih untuk terus mengedepankan persatuan nasional. Pada pidato 17 Agustus 1966, Bung Karno menyerukan agar tetap memperkuat persatuan tiga kekuatan, yaitu Nasakom.
Pun, ketika demonstrasi mahasiswa kanan menuntut Bung Karno agar segera membubarkan PKI dan ormas-ormas komunis, Ia telah menolaknya. Dan, dengan suara yang lebih tegas, bahwa Pancasila tidak anti Nas (nasionalis), tidak anti A (agama), dan tidak anti Kom (komunis).
Begitulah, Bung Karno memeluk dengan teguh keyakinan politik dan strategi persatuannya dari awal hingga akhir. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, tetapi Nasakom pernah bergema dalam dalam sejarah politik Indonesia.

Perjuangan Rakyat Sekaroh Untuk Mendapatkan Lahan


 Oleh : andra ashadi

(Relevansi Masyarakat Sekaroh Menuntut Teraksesnya Lahan Pertanian)
Sejak masa pra sejarah nenek moyang kita sudah mampu berpikir sebagaimana umat manusia saat ini, yang di kenal dengan istilah homo sapiens yaitu penduduk yang mampu merefleksikan bagaimana dunia sekelilingnya mempengaruhi kehidupannya sehari hari mereka mencoba untuk menyembah roh, hantu atau dewa dewa yang di yakininya dapat mengontrol kekuatan alam. Di jaman pra sejarah ini juga di kenal pada saat manusia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan hidup berpindah pindah yang kita kenal zaman nomaden dengan ciri produksi meramu dan berburu sehingga pada akhirnya prempuan manusia pra sejarah ini secara tidak sengaja menemukan cara pandang bertani adalah cara maju untuk menjaga eksistensinya di muka bumi.
Sehingga dapat di katakana di jaman yang freminif pun sudah membutuhkan alat produksi untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi.
Ketika berbicara Indonesia dalam kontek hari ini semua orang berbicara Negara kita adalah Negara yang masih agraris, artinya ketika berbicara agraris tentu di benak kita alat produksi utama masyarakat adalah tanah.
Namun yang menjadi persoalan di Indonesia hari ini tidak teraksesnya lahan / tanah (land) sebagai sumberdaya produksi untuk masyarakat yang berprofesi sebagai petani khususnya.
Land refers to all natural resources- all free gifts of nature- which are usable in the productive process.” (Jackson dan McConnell 1988, p.17) land atau alam berkaitan dengan seluruh sumberdaya yang bersipat alami- semua yang sudah tersedia di bumi yang dapat di gunakan dalam proses produksi. Termasuk dalam pengertian sumberdaya alami di antaranya ( tanah, hutan, mineral, minyak bumi, dan air)
Land (lahan) sebagai factor produksi utama (frimery factor) seluruh sumberdaya alam merupakan factor produksi asli karna sudah tersedia dengan sendirinya tampa harus diminta oleh manusia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah mencari cara bagaimana manusia bisa menggali, menggunakan dan memproses kekayayan alam sehingga dapat berlangsung secar terus menerus untuk kesejahtraan umat manusia., persoalan serius juga ketika manusia (petani) mengelola lahannya di benturkan dengan konflik lahan seperti yang terjadi di lombik timur (petani lingkar sekaroh dengan PEMDA Lotim Cq Dinas Kehutanan).

Teraksesnya Lahan Pertanian Bukan Berarti Merusak Lingkungan
Konsep pengelolan lingkungan hidup yang di buat bangsa kita sejatinya untuk mempertahankan eksistesi manusia di muka bumi. Lalu apa jadinya ketika manusia yang notabenya sebagi tujuan pengelolaan lingkungan hidup itu tidak mampu bertahan hidup karna tidak dapat makan. Jika di runut tidak makan karna tidak bekerja, tidak bekerja karna tidak ada pekerjan, inilah logika yang pernah di sebut pendiri bangsa kita Bungkarno sebagai hokum alam. Atau undang-undang alam.
Sehingga ketika masyarakat lingkar Sekaroh menuntut teraksesnya lahan jangan sampai di katakana tidak pro kelestarian lingkungan.
Karna pengertian lingkungan hidup yang tercantum dalam UU No 4 Tahun 1982 atau No 23 Tahun 1997 di difinisikan sebagai satu kesatuan ruang yang terdi dari benda, daya, keadaan, mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainya. Kelompok benda dan daya di kategorikan kepada kelompok komponen fisik, makhluk hidup yang terdiri dari satwa dan tumbuh-tumbuhan termasuk, dalam komponen biotis, sedangkan makhluk hidup yang berupa manusia termasuk dalam komponen social, budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Jadi dalam pembagian komponen lingkungan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen utama yaitu Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat ).

Pengolahan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan seperti penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup ( UU No 23 Tahun 1997, ps 1 dan 2 ). Pemanfaatan dan penataan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya untuk mendaya gunakan sumber daya alam untuk kepentingan kehidupan dan kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Upaya lain dalam melestarikan lingkungan adalah pemeliharaan, pengendalian, pengawasan, dan pengembangan biasanya dikaitkan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan.
Memahami tentang bagaimana penyelenggaraan lingkungan hidup dalam hal ini diperlukan azas yang akan selslu menjadi pedoman pelaksanaannya. Seperti dikemukakan oleh ( Darma Kusuma ), azas pengelolaan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan, perlu dibedakan antara pelestarian lingkungan dan pelestarian kemampuan lingkungan.
Pelestarian lingkungn mengandung arti tidak diperbolehkannya upaya untuk memanfaatkan atau mengolah sumber daya lingkungan. Sebaliknya pelestarian kemampuan lingkungan memperbolehkan upaya untuk memanfaatkan atau mengolah sumber daya lingkungan asalkan dilaksanakan secara bijaksana sehingga terwujud pembangunan yang berkelanjutan.
Azas tersebut diatas dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan berkesinambungan sehingga tercapai tujuan yang diharapakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terciptanya keselarasan hubungan anatara manusia, dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sumber daya secara arif dan bijaksana merupakan dinamisasi kehidupan antara manusia dan alam.

Perjuangan Masyarakat Lingkar Sekaroh mengakses lahan
Seperti yang di katakana di atas azas pengelolaan lingkungan “azas pelestarian kemampuan lingkungan memberikan ruang untuk mempaatkan atau mengolah sumberdaya lingkungan, termasuk hutan produktif itu sendiri.
Namun dalam kontek ini perjuangna masyarakat lingkar Sekaroh pun mempunyai pandangan hutan produktif tidak boleh di eksploitasi. Hal ini nyata terlihat dari flatpom perjuanganya yakni membagi lingkar Sekaroh menjadi tiga zona. (Zona hutan lindung, zona pengembala, zona pertanian).
Konsep ini adalah konsep yang kalau di analisa secara mendalam di lihat dari semua aspek: Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat ) adalah konsef yang pro klestarian lingkungan. Dimana Zona hutan lindung di peruntukkan untuk menjaga keseimbangan O2 di bumi dan khususnya di lingkar sekaroh. Zona peternakan/pengembalaan adalah konsep untuk menjaga hutan itu sendiri karna mustahil akan ada hutan ketika mahluk hidup (hewan) terutama yang di jadikan komuditi ekonomi tidak di tata dengan rapi alias di berikan ruang tersendiri. Karena hewan hewan inilah terutama hewan ternak yang kan merusak hutan. Zona lahan pertanian: seperti yang di ulas di atas manusia agraris membutuhkan lahan sebagai alat produksi utama, ketika ini tidak diberikan akses seolah ingin memusnahkan umat manusia dalam hal ini masyarakat lingkar sekaroh.

Kesimpulan:
1. Berbicara lingkungan tidak hanya berbicara menjaga kelestarian hutan, tetapi berbicara kelestarian lingkungtan haruslah melihat komponenen kelestarian lingkungan secara menyeluruh yakni Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social, ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat ).
2. Tujuan dari konsep pengelolaan lingkungan adalah untuk menjaga eksistensi manusia di muka bumi, jadi sangat tidak masuk akal ketika pengelolaan lingkungan di jadikan alasan untuk memangkas hak hak manusia untuk mengakses lahan sebagai alat utama produksi masyarakat petani.

*) Penulis adalah Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Eskot Lombok Timur

Kisah Kaum Merah Di Jong Java Cabang Surabaya

 Oleh : Ulfa Ilyas
Kita sudah sering mendengar soal kaum merah di dalam tubuh Sarekat Islam, yang juga dikenal dengan nama SI-merah. Sekarang kita akan membicarakan soal kisah “kaum merah” di dalam Jong Java, organisasi pemuda yang berafiliasi dengan organisasi kaum ningrat/priayi—Budi Oetomo.
Pada tahun 1915, di Jakarta telah berdiri organisasi pergerakan pemuda “Tri Koro Darmo”, yang pada kongresnya di Solo tahun 1918, telah mengubah namanya menjadi Jong Java.

Perhimpunan yang anti-politik
Sebagai organisasi pemuda, sebagaimana dicatat Hanz Van Miert, Jong Java menginginkan Java yang bebas (sebagai tri-tunggal) dalam suatu federasi Hindia. Namun, seperti juga induknya Budi Oetomo, Jong Java sangat menolak gerakan politik dan menganjurkan anggotanya untuk tidak berpolitik.
Meski berusaha menjauh dari politik, tetapi anggota-anggotanya tetap menaruh “rasa ingin tahu” pada politik. Terbukti, dalam sebuah kongres di Jogjakarta tahun 1919, para pemuda turunan ningrat ini terpaku ketika seorang tokoh komunis berbicara lantang; “sudah saatnya anggota Jong Java untuk berhimpun di pihak kaum proletar dalam perjuangan melawan kapitalisme yang sangat merugikan.”
Meski anak turunan ningrat dan sebagian besar misinya sama dengan Boedi Oetomo, tetapi anggota-anggota Jong Java akan marah jika dipersamakan dengan organisasi tua tersebut.
Sebagai pelajar di sekolah-sekolah Belanda, mereka diwajibkan untuk konsentrasi pada studi dan tidak perlu ikut-ikut gerakan politik. Ini pula yang dirasakan oleh seorang pemuda, Soekarno. Saatnya dirinya berpidato keras dalam sebuah kelompok studi di sekolahnya, ia telah mendapat teguran dari direktur sekolahnya, Tuan Bot.

Cabang Surabaya Yang Radikal
Cabang Jong Java di Surabaya berdiri pada 1 Februari 1920. Saat itu, Surabaya boleh dikatakan sebagai pusatnya kaum pergerakan, yaitu markasnya Sarekat Islam (SI) yang diketuai Tjokroaminoto dan juga pernah menjadi basis ISDV (Snevleet dan kawan-kawan).
Di cabang Surabaya, tokoh paling menonjol dan berpendirian radikal saat itu adalah Soekarno, yang kelak menjadi pemimpin pembebasan nasional Indonesia. Soekarno, yang ketika itu mendapatkan posisi penting, berusaha mengubah organisasi cabang Surabaya dari sebuah “klub kaum inteligensia muda” menjadi organisasi perjuangan politik yang menghimpun massa rakyat. Soekarno mengatakan, “tidak mungkin bisa memimpin rakyat, tanpa menyatukan diri dengan mereka.”
Soekarno pula, sebagai gagasan untuk menyatu dengan rakyat dan melahirkan identitas nasional, telah menganjurkan penggunaan “peci” sebagai simbol perjuangan nasional melawan kolonialisme. Soekarno berkata: “ Kita memerlukan simbol yang khas Indonesia, dan untuk itu bisa digunakan peci, yang mendekatkan kita kepada rakyat.”
Selain Soekarno, ada pemuda-pemuda lain yang sudah terbiasa menjadi pemberontak di sekolah-sekolahnya. Para pemuda-pemuda ini mulai melihat Boedi Oetomo secara kritis dan mempertanyakan sikap lunak kaum tua.
Kalangan radikal di cabang Surabaya, antara lain, berasal dari BAS (Burgerlijke Avond School), MULO, MTS (Middelbare Technische School), dan HBS—tempat sekolahnya Bung Karno.

Persaingan Kaum Merah dan Kaum Halus
Kedua istilah ini saya ambil dari Hans Van Miert, yang menceritakan beberapa kejadian seputar pertarungan dua golongan di dalam tubuh Jong Java: progressif/pembaharu (kaum merah) versus konservatif/aristocrat (kaum halus).
Diceritakan misalnya, pada bulan Oktober 1920 ketika cabang Surabaya merencanakan untuk melakukan pawai, telah terjadi pertentangan antara kaum merah dengan kaum halus. Kaum merah menghendaki penyelenggaraan pawai yang demokratis, sementara kaum halus menolak karena dianggap merendahkan derajat kaum ningrat.
Juga pada bulan Desember 1920, salah seorang kelompok merah, yaitu Soepardi dari pelajar MULO, mengusulkan agar kelompok-kelompok Jong Java segera didirikan di sekolah-sekolah. Usul tersebut ditolak oleh kalangan putih, oleh orang yang bernama Taberani, yang sering dicemooh namanya menjadi “Tak Berani”. Soepardi kemudian berkata: “‎”He, Tuan “Taberani”, tuan ini ternak atau manusia? kalau manusia, tentu tuan harus mendukung aksi kita di sekolah.”
Pada suatu hari di tahun 1921, di hadapan ratusan orang dalam sebuah pertemuan Jong Java cabang Surabaya, Soekarno (merah) telah berhadap-hadapan dengan Soegito (halus). Soekarno menginginkan agar ceramahnya disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa-Dipa (Ngoko), bahasanya kaum pembaru. Soegito, selaku ketua sidang, melarang Soekarno menggunakan bahasa tersebut dan menganjurkan agar ceramah dilanjutkan dengan bahasa Belanda. Sebaliknya, Soekarno pun menolak menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, rapat itupun bubar disertai dengan teriakan-teriakan dan bunyi gamelan.
Sebulan kemudian, pertikaian kembali terjadi diantara kedua kubu. Soekarno dan kalangan anggota merah mengusulkan agar keanggotaan Jong Java diperluas pada sekolah-sekolah menengah dan lanjutan, termasuk yang tidak menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, kalangan merah menginginkan agar surat kabar Jong Java menggunakan bahasa melayu, bukan bahasa belanda. Mereka juga mengusulkan agar bahasa melayu diperbolehkan dipergunakan dalam rapat-rapat.  Kelompok konservatif (halus) menolak keseluruhan gagasan ini.

Puncak pertentangan ini meletus di kongres keempat Jong Java tahun 1921, yang diselenggarakan di Bandung. Kubu kaum merah, terutama dari cabang Surabaya dan Semarang yang dikomandoi oleh pemuda Soekarno, menggunakan kongres ini untuk berbicara mengenai penderitaan rakyat dan “kapitalisme yang terkutuk”. Soekarno kembali mengusulkan agar bahasa Djawa-dipa dipergunakan, dan telah memperkuat argumentasinya dengan mengutip slogan revolusi Perancis: Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan.
Usul Soekarno dan kelompok merah mendapat tantangan keras dari cabang Batavia, yang saat itu dipimpin oleh Basoeki dan Soepomo. Sebaliknya, kedua anggota kubu “halus” ini menggunakan semboyan teosof Belanda, Fournier, yang berbunyi: “kepala yang dingin dan hati yang gembira.”
Semaun, tokoh komunis dari PKI yang hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan, mengutuk dengan keras “pers putih/kanan” yang bertepuk tangan menyambut pidato kubu “putih”, Basoeki.
Konon, pertempuran kedua kubu di kongres ini dimenangkan oleh kaum merah, dan Jong Java akhirnya harus menerima gagasan untuk berpolitik. Mengomentari kemenangan itu, harian “Sinar Hindia”—milik PKI/SI merah telah menyatakan dukungan atas peralihan Jong Java dari non-politis menjadi politis.

di kutip dari : http://berdikarionline.com/jeda/20101116/kisah-kaum-merah-di-jong-java-cabang-surabaya.html

wibiya widget

MELAWAN atau MISKIN

 
Powered by Blogger