BLOG RESMI PERSATUAN PEMUDA
PEMUDA SEDUNIA BERSATULAH

Selasa, 07 Desember 2010

Percayalah Pada Benarnya Nasakom! (Bagian Pertama)

 oleh : Ir.Soekarno

Saudara-saudara sekalian,

Kita sekarang ini sudah hampir dua puluh tahun merdeka, 17 Agustus’ 45 kita mengadakan proklamasi dan insya Allah 17 Agustus tahun ini kita akan dua puluh tahun merdeka. Dan kemerdekaan itu adalah hasil dari perjuangan yang bukan dua puluh tahun, tetapi hasil dari perjuangan yang lebih panjang dari dua puluh tahun itu, tergantung dari cara kita menghitungnya; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun.

Kalau kita sekadar mulai dengan tahun 1908, permulaan kita mengadakan organisasi modern, pergerakan, yaitu dengan berdirinya Budi Utomo, maka antara tahun ‘08 dan ’45 adalah 37 tahun. Tetapi jikalau kita hitung dari sejak sultan angung, Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung , ada Sultan Agung dari Mataram, Yogyakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanya pejuang; Sultan Agung dari Yogya itu dinamakan hajejuluk, menamakan diri Sultan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Cokrokusumo; Sultan Agung yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa, beliau akan membuat kolam Indah. Pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa. Jika kita hitung perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan sejak saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Jakarta atau Sultan Agung Tirtayasa menggempur Jakarta, maka perjuangan kemerdekaan kita itu lebih dari tiga abad. Sultan Agung dua itu diikuti oleh pejuang-pejuang yang lain, oleh Suropati, Joko Untung Suropati, diikuti oleh Trunojoyo, diikuti oleh Sultan Hasanuddin, diikuti oleh Diponegoro, diikuti oleh Tuanku Imam Bonjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Cik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita yang terkenal di abad ke-20 ini; maka total perjuangan kita lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus ’45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saya kupas, apa sebab perjuangan-perjuangan yang terdahulu, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Suropati, Trunojoyo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Dipenogoro, dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kekuasaan Belanda atau imperialis Belanda dari Indonesia.
Maka jawaban saya selalu ialah, oleh karena Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Trunojoyo, Suropati, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainya itu, perjuangannya sudah didasarkan atas persatuan dan kesatuan perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro menjalankan ia punya perjuangan, ia tidak berhasil memerdekakan Indonesia, oleh karena perjuangannya hanya disandarkan atas kekuatan rakyat di pulau Jawa saja. Bagaimanapun Sultan Hasanuddin berjuang—demikian hebatnya sehingga Cornelis Speelman menamakan dia “de jonge haan van her Oostern,” ayam jantan muda di alam timur. Notabene ayam jantan muda itu juga salah satu titel dari seorang raja kita yang hebat, yaitu Hayam Wuruk, majapahit. Hayam wuruk artinya ayam jantan muda; Speelman menamakan Sultan Hasanuddin : “de jonge haan”— tetapi toh perjuangannya tidak berhasil, tidak berhasil mengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas seluruh Rakyat Indonesia. Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. ini harus menjadi pelajaran bagi kita, pelajaran yang sudah ditarik oleh kita menentang imperialism, perjuangan kita memerdekakan Indonesia harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia seluruhnya, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama, tidak mengenal waktu.
Kita pada hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1965. Ya, memang pada tanggal 1 Juni 1945, dus sebelum kita mengadakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, saya telah membuat pidato mengusulkan Pancasila kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, agar supaya Pancasila itu dijadikan dasar Negara Indonesia Merdeka. Dan, saudara-saudara, tatkala saya memikir-mikirkan apa yang akan aku usulkan ke hadapan para pemimpin rakyat Indonesia, satu hal yang menjadi pegangan teguh bagi saya, yaitu bahwa Persatuan Indonesia, kesatuan Indonesialah, pokok dari segala pokok. Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu , dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan Pidato Pancasila, telah menjadi keyakinan di dalam kalbuku, keyakinan, ilmu-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin, bahwa kemerdekaan kita yang akan datang itu hanya dapat dipertahankan abadi, jikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan bangsa Indonesia.

Lebih dahulu aku memberi penjelasan. Ini saya melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu—tatkala aku menyebutkan ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin—-kelihatan bersinar-sinar, tetapi mengandung pertanyaan. Apa bedanya ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin? hakkul-yakin itu keyakinan yang sudah seyakin-yakinnya sepanjang pikiran, sepanjang ‘ilm, sepanjang ilmu. Tempo hari disini saya pernah melukiskan sebagai berikut: aku berdiri disini, umpamanya aku berdiri disini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku yakin, bahwa di belakang kampung itu ada api; tetapi keyakinanku itu sekadar hasil dari ‘ilm, pikiran, ilmu. Dengan Ilmu-yakin aku berani mengatakan, bahwa di belakang kampung itu ada api.
Tapi mungkin, ya mungkin, matakulah yang salah, mataku sedang menderita penyakit yang dinamakan penyakit hallucinatie, hallucinatie melihat barang tetapi sebetulnya tidak ada. Mengira melihat asap, tetapi sebetulnya tidak ada, sebagaimana orang di padang pasir jikalau panas sepanas-panasnya dan dia sedang menderita dahaga, huh, matanya melihat di tepi langit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia punya mata melihat telaga. Itu yang biasa dinamakan Fatamorgana. Jadi si orang itu melihat fatamorgana, fatamorgana, bahwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sejuk dan dia yang menderita dahaga itu bukan main, ya, ingin meminum air telaga itu, terus dia lari kesana, tetapi lari punya lari, tidak ada telaga air sejuk disana itu.

Nah, saya pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap di belakang kampung, mungkin matakulah yang salah, mungkin mataku melihat asap seperti orang itu di padang pasir melihat talaga, tetapi sebenarnya tidak ada asap, sehingga keyakinanku bahwa di belakang kampung itu api— sebab akalku berkata ada asap ada api, sehingga keyakinanku di belakang kampung itu ada api —adalah sebenarnya keyakinan yang salah, sehingga ilmul-yakin itu satu keyakinan yang bertaraf paling rendah.
Kemudia ainul-yakin. Aku melihat asap di belakang kampung dan aku berkata di sana itu tentu ada api, ilmul-yakin. Tetapi aku berjalan, aku pergi ke sana, pergi ke belakang kampung itu, ee, benar-benar aku melihat api. Bukan hanya aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku berkata, dengan ainul –yakin aku boleh berkata bahwa ada api, seba aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang aku melihat api, aku pergi ke belakang kampung, aku melihat api; benar ilmiah tadi itu benar, yah, ini ainul-yakin. Di belakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi keyakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku yang masih salah, mataku yang tadi melihat asap, masih kabur, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-yakin lebih tinggi tarafnya daripada ilmul-yakin, tetapi belum keyakinan yang setinggi-tingginya, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunya lengan baju. Aku melihat api, aku masukkan tanganku kepada barang yang aku sangka api itu, oo panasnya bukan main, betul-betul ini api, jadi bukan penglihatan matuku saja, tetapi benar-benar ini api sebab tanganku terbakar. Hakkul-yakin, ini api. Nah, saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilmul-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin?

Nah, pada waktu aku keesokan harinya hendak mengucapkan pidato di hadapan sidang pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia untuk mengusulkan dasar-dasar Negara, pada waktu aku telah hakkul-yakin bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan abadi dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, jikalau didasarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, maka aku mohon lebih dari ke- hakkul-yakin- an. Dan aku telah pernah ceritakan di sini, malam-malam itu aku keluar dari rumah—rumah yang kudiami pada waktu itu, yaitu Pengangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi Gedung Pola— pada waktu itu aku keluar dari rumah, pergi ke belakang rumah, dan aku menengadahkan wajah mukaku dan hatiku kepada Allah SWT.
Beribu-ribu bintang gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/ Juni yang sedang tiada hujan tiada awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan lutut (Presiden menangis tersedu-sedu—red.), maaf… kalau aku ingat ini selalu aku terharu. Ya Allah, ya Rabi: aku tekukkan lututku, aku menengadah ke langit, aku kirimkan permohonanku dibalik, di belakangnya bintang yang beribu-ribu itu kepada Alla SWT : Ya Tuhan, ya Allah ya Rabi, berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus ku kemukakan. Apakah dasar-dasar lain itu?

Sesudah aku memohon yang demikian, saudara-saudara, aku masuk lagi ke rumah, berbaring di tempat pembaringan, menenangkan aku punya pikiran dan aku tertidur. Dan, saudara-saudara, tatkala pagi-pagi aku banging, aku telah mendapat ilham : Pancasil. Ilha itu, saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapa pun, bukan hanya kepada Nabi, tidak. Yang diberikan kepada Nabi aadallah Wahyu, kalau kepada manusia biasa, setiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham— yang “silo,” anak kecil itu—engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, Yo Chairul Saleh bisa mendapat Ilham, engkau Jeng Sukahar bisa mendapat ilham, engkau saudariku dari Sulawesi Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, kita semuanya bisa mendapat ilham, yaitu pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Seperti kukatakan tadi tatkala aku pagi-pagi tanggal 1 Juni bangun hendak sembahyang subuh, pada waktu itu aku telah mendapat ilham, pikiran yang nanti akan aku usulkan di hadapan rapat para pemimpin, ialah Pancasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu karena kau mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, Persatuan bangsa Indonesia, tersebar diatas kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, persatuan yang kompak sekompak-kompkanya. Kemudian baru yang lain-lain, saudara-saudara, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Pancasil, saudara-saudara, saya usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Juni itu dan syukur Alhamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.

Saya cerita, ya. Siapa yang paling pertama di antara hadirin dan hadirat pada waktu itu yang mengusulkan agar Bung Karno diterima? Almarhum Ki Hajar Dewantara. Padahal tadinya, tadinya sebelum aku, almarhum Ki Hajar Dewantara juga bicara dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki Hajar Dewantara berpidato, Bung Hatta, Mohammad Hatta berpidato, banyak lagi berpidato, mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada waktu itu yang memegang palu ialah almarhum Dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang sudah mangkat. Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato, dan pada waktu aku mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengucap Bismillah, Bismillah, oleh karena aku merasa bahwa apa yang aku katakab nanti ialah ilham yang Tuhan berikan kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu—Red). Bismillah, aku anjurkan : Pancasila. Dan sesudah aku pidato, Ki Hajar Dewantara minta bicara, dan beliau mengajurkan kepada seluruh sidang: saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini. Sejak dari saat itulah, saudara-saudara, Pancasila resmi menjadi dasar Negara Indonesia yang akan kita proklamirkan.

17 Agustus ’45 datang, proklamasi kemerdekaan diucapkan juga di Penganggsaan Timur 56. 18 Agustus ’45, satu hari kemudian diadakan lagi sidang seluruh pemimpin Indonesia dan di situ ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang kemarinnya diproklamirkan itu. Undang-undang Dasar Republik Indonesia disahkan pada tanggal 18 Agustus ’45 dan di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu —Undang-undang Dasar ’45, Undang-undang Dasar yang kita kenal semuanya—tertulisah dengan nyata unsur-unsur Pancasila itu, saudara-saudara. Dan berkat Pancasila itu, saudara-saudara, sampai hari ini Alhamdulillah Republik Indonesia masih berdiri teguh, meskipu Republik Indonesia ini dicoba oleh musuh dihancurkan dengan macam-macam jalan; dicoba dihancurkan dengan aksi militer yang kedua, tahun ’48, dicoba dengann subversi macam-macam, dicoba dengan pemberontakan-pemberontakan PRRI/Permesta dan RMS, dicoba dengan segala hal, tetapi Republik Indonesia tetap berdiri kuat, karena Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Dan, saudara-saudara, di dalam pidatoku waktu aku menganjurkan Pancasila itu, aku juga telah berkata : Pancasila dapat kita peras menjadi tiga, Trisila : Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tiga. Kalau kita persatukan Kebangsaan dengan Perikemanusiaan—sila dua dan sila tiga kita peras menjadi satu—menjadilah ia Sosio-nasionalisme, dan jikalau kita peras sila keempat, Kedaulatan Rakyat dengan sila kelima, Keadilan Sosial, perasannya itu menjadi Sosio-demokrasi, sehingga perasan dari lima ini menjadi tiga: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tetapi aku lantas berkata kepada sidang, barangkali tuan-tuan toh belum senang kepada angka tiga, barangkali tuan-tuan senang kepada kepada angka satu, wahai, kataku, peraslah tiga ini menjadi satu, menjadi Ekasila—Eka artinya satu—dan apakah Ekasila itu? Ekasila itu adalah gotong-royong. Negara Republik Indonesia berdasarkan gotong-royong, gotong-royong seluruh rakyat Indonesia, gotong-royong rakyat di Sabang sampai rakyat di Merauke. Dan aku ulangi, saudara-saudara, dengan prinsip gotong-royong ini, dengan kenyataan gotong-royong ini, kita makin lama makin kuat.

*) Amanat–Indotrinasi Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di Istora Senayan, Jakarta.

Jumat, 03 Desember 2010

Bung Karno : “Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!”

oleh : Umar Said


Berikut di bawah ini disajikan cuplikan dari sebagian pidato Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.. Pidatonya ini diucapkannya 4 bulan sesudah terjadinya G30S, ketika Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto sudah mulai secara besar-besaran membunuhi, atau menangkapi, atau menyiksa para pemimpin PKI dan tokoh-tokoh berbagai organisasi masa (antara lain : buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, wanita, mahasiswa, pelajar, intelektual, seniman) di seluruh Indonesia.
Agaknya, patut dicatat bahwa pidato Bung Karno di depan rapat umum Front Nasional ini diucapkannya ketika golongan militer di bawah pimpinan Suharto-Nasution sudah terang-terangan mulai melakukan “kudeta merangkak” secara bertahap dan juga merongrong atau merusak kewibawaannya.
Cuplikan sebagian pidatonya ini, diambil dari buku “Revolusi Belum Selesai” halaman 422, 423 , 424, dan 425 Buku “Revolusi Belum Selesai” tersebut terdiri dari 2 jilid, dan berisi lebih dari 100 pidato-pidato Bung Karno, yang diucapkannya di berbagai kesempatan sesudah terjadinya G30S sampai pidatonya tentang Nawaksara 10 Januari 1967. Karena sesudah terjadinya G30S, boleh dikatakan bahwa semua media massa (pers, majalah, TV dan radio ) dikuasai atau dikontrol keras Angkatan Darat, maka banyak sekali (atau hampir semua) pidato-pidato Bung Karno di-black out atau diselewengkan atau dimanipulasi., sehingga tidak diketahui oleh umum secara selayaknya.
Isi buku “Revolusi belum selesai “ ini menyajikan berbagai hal penting yang berkaitan dengan fikiran atau pandangan Bung Karno tentang perlunya persatuan revolusioner bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur atau sosialisme à la Indonesia, menentang imperialisme AS, melawan neo-kolonialisme dalam segala bentuknya, menjaga persatuan bangsa dan kesatuan Republik Indonesia dan juga mengenai G30S. Karena itu, di samping buku “Di bawah Bendera Revolusi” yang juga merupakan kumpulan tulisan dan pidato-pidatonya selama perjuangannya sejak muda, maka buku “Revolusi Belum Selesai” merupakan dokumen sejarah Indonesia yang amat penting untuk dijadikan khasanah bangsa Indonesia.
Mengingat pentingnya berbagai isi buku “Revolusi belum selesai” ini untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi gagasan atau ajaran Bung Karno, maka website http://kontak.club.fr/index.htm akan sesering mungkin menyajikan cuplikan-cuplikannya. Kali ini disajikan pendapat Bung Karno mengenai sumbangan atau jasa-jasa PKI dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Apa yang diungkapkannya secara tegas, jujur, dan terang-terangan tentang PKI, merupakan hal-hal yang patut menjadi renungan kita bersama.
Penghargaan Bung Karno terhadap perjuangan PKI mempunyai bobot penting dan besar sekali. dalam sejarah perjuangan bangsa. Karena, penghargaan ini datang dari seorang bapak besar bangsa, yang dalam sepanjang hidupnya telah membuktikan diri dengan jelas sebagai seorang pemimpin nasionalis, yang juga muslim dan sekaligus marxis. Sangatlah besar artinya, ketika ia mengatakan bahwa sumbangan PKI dalam perjuangan untuk kemerdekaan adalah paling besar dibandingkan dengan partai-partai atau golongan yang mana pun, bahkan termasuk PNI yang telah ia dirikan sendiri.
Apa yang dikatakan Bung Karno ini amat penting untuk diketahui oleh rakyat Indonesia berikut generasi yang akan datang. Karena, selama lebih dari 40 tahun masalah PKI ini dipakai oleh Suharto bersama jenderal-jenderalnya sebagai alat untuk menjatuhkan kekuasaan dan kewibawaan Bung Karno dan menghancurkan kekuatan kiri atau revolusioner yang mendukung politiknya. Racun yang disebarkan oleh rejim militer Orde Baru secara terus-menerus, intensif, luas, dan menyeluruh ini, sampai sekarang masih bisa mempengaruhi fikiran sebagian masyarakat kita.Salah satu buktinya ialah apa yang disiarkan oleh koran Duta Masyarakat tanggal 18 dan 19 Januari 2009. (Harap para pembaca menyimak ucapan-ucapan Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, dalam tulisan di harian tersebut yang berjudul “Lewat kaos, parpol hingga film).
Cuplikan sebagian pidato Bung Karno mengenai PKI ini menunjukkan betapa besar dan jauhnya gagasan atau idam-idamannya tentang persatuan revolusioner yang dirumuskannya dalam konsep Nasakom. Ini terasa lebih penting dan menonjol sekali, kalau kita ingat bahwa pidatonya ini diucapkannya (dalam bulan Februari 1966) ketika Suharto bersama jenderal-jenderalnya sudah melakukan berbagai langkah besar-besaran untuk menghancurkan PKI.
Cuplikan dari pidato Bung Karno :
(Catatan : teks cuplikan pidato ini diambil oleh penyusun buku “Revolusi belum selesai” dari Arsip Negara, dan disajikan seperti aslinya. Kelihatannya, pidato Bung Karno ini diucapkannya tanpa teks tertulis, seperti halnya banyak pidato-pidatonya yang lain yang juga tanpa teks tertulis).
“Nah ini saudara-saudara, sejak dari saya umur 25 tahun, saya sudah bekerja mati-matian untuk samenbundeling (penggabungan) ) semua revolutionaire krachten (kekuatan revolusioner) buat Indonesia ini. Untuk menggabungkan menjadi satu semua aliran-aliran, golongan-golongan, tenaga-tenaga revolusioner di dalam kalangan bangsa Indonesia. Dan sekarang pun usaha ini masih terus saya jalankan dengan karunia Allah S W T. Saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sebagai Kepala Negara, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, saya harus berdiri bukan saja di atas semua golongan, tetapi sebagai ku katakan tadi, berikhtiar untuk mempersatuan semua golongan.
“Ya golongan Nas, ya golongan A, ya golongan Kom. Kita punya kemerdekaan sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuangan kami A saja. Jangan pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada perjuangan kami, golongan Kom saja.
“Tidak .Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku, demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan daripada A saja.
“Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !
“Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara.
“Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun.
“Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas.
“Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia.
“Jadi aku melihat 2000 sekaligus ke Boven Digul. Berpuluh ribu sekaligus masuk di dalam penjara. Dan bukan penjara satu dua tahun, tetapi ada yang sampai 20 tahun, Saudara-saudara. Aku pernah mengalami seseorang di Sukamiskin, saya tanya : Bung, hukumanmu berapa? 54 tahun. Lho bagaimana bisa 54 tahun itu ? Menurut pengetahuanku kitab hukum pidana tidak ada menyebutkan lebih daripada 20 tahun. 20 tahun atau seumur hidup atau hukuman mati, itu tertulis di dalam Wetboek van Strafrecht (kitab hukum pidana). Kenapa kok Bung itu 54 tahun? Ya. Pertama kami ini dihukum 20 tahun, kemudian di dalam penjara, kami masih mempropaganda-kan kemerdekaan Indonesia antara kawan-kawan pesakitan, hukuman. Itu konangan, konangan, ketahuan, saya ditangkap, dipukuli, dan si penjaga yang memukuli saya itu saya tikam mati. Sekali lagi aku diseret di muka hakim, dapat tambahan lagi 20 tahun. Menjadi 40 tahun.
“Sesudah saya mendapat vonnis total 40 tahun ini, sudah, saya tidak ada lagi harapan untuk bisa keluar dari penjara. Sudah hilang-hilangan hidup saya di dalam penjara ini, saya tidak akan menaati segala aturan-aturan di dalam penjara. Saya di dalam penjara ini terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada satu waktu saya ketangkap lagi, oleh karena saya berbuat sebagai yang dulu, saya menikam lagi, tapi ini kali tidak mati, tambah 14 tahun, 20 tambah 20 tambah 14 sama dengan 54 tahhun.
“Ini orang dari Minangkabau, Saudara-saudara. Dia itu tiap pagi subuh-subuh sudah sembahyang. Dan selnya itu dekat saya, saya mendengar dia punya doa kepada Allah SWT ; Ya Allah, ya Robbi, aku akan mati di dalam penjara ini. Tetapi sebagaimana sembahyangku ini, shalatku ini, maka hidup dan matiku adalah untuk Engkau.
“Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia ini.
“Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling besar.”
***
Demikian kutipan sebagian kecil dari amanat Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.
Seperti yang sama-sama kita lihat, amanat tersebut adalah luar biasa! Di dalamnya terkandung pesan (message) yang besar sekali kepada seluruh nasion, dan sekaligus juga peringatan keras kepada semua golongan (terutama kalangan jenderal-jenderal pendukung Suharto) yang bersikap anti-komunis.
Adalah jelas bahwa pernyataan Bung Karno tentang PKI di depan Front Nasional dalam tahun 1966 itu berdasarkan kebenaran sejarah, dan juga bahwa itu lahir dari ketulusan hatinya yang sedalam-dalamnya. Pernyataannya yang demikian itu adalah cermin dari isi atau jiwa perjuangan revolusionernya sejak muda.
Pendapat Bung Karno tentang sumbangan atau pengorbanan PKI untuk kerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah betul-betul pemersatu rakyat Indonesia, guru besar dan bapak bangsa, yang tidak ada bandingannya di Indonesia.
Paaris, 23 Januari 2009


Catatan tambahan :
Buku “Revolusi belum selesai” terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 443 halaman, sedangkan jilid kedua 456 halaman.

Sumber : catatan Umar Said
http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr

Senin, 29 November 2010

FNPBI Anggap Pemberian HP Bagi TKI Bukan Solusi


Federasi Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) menganggap solusi Presiden SBY untuk mengatasi persoalan TKI, yaitu dengan memberikan hand phone (HP) kepada setiap TKI, sebagai solusi gampangan dan tidak akan menyelesaikan masalah mendasar.

Meski TKI akan dilengkapi dengan HP, hal itu tidak akan banyak membantu jikalau TKI tidak berdaya di hadapan si majikan, karena misalnya si TKI tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pasti.
Sebaliknya, FNPBI menganggap solusi itu akan menjadi lahan bisnis baru antara pihak pemerintah dengan perusahaan telepon seluler, dan juga akan menjadi lubang baru untuk praktik korupsi.
Selebihnya, dalam anggapan Lukman, ketua Umum FNPBI yang baru, akan menjadi modus baru untuk menarik iuran atau beban baru bagi para TKI.

Sebaliknya, FNPBI mendesak pemerintah untuk mencarikan solusi yang lebih menjangkau persoalan mendasar, terutama sekali perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.
Sebagai misal, FNPBI menekankan pentingnya pemerintah melakukan upaya diplomasi dengan Negara-negara penerima TKI, supaya membuat perjanjian bilateral yang mengharuskan sanksi keras terhadap pelaku kekerasan terhadap TKI Indonesia.
Disamping itu, pemerintah mestinya memperbaiki mekanisme pengiriman TKI ke luar negeri, misalnya memberantas birokrasi yang korup, menindak PJTKI yang nakal, membuat pusat-pusat informasi bagi TKI, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, perlu juga memberikan pelatihan untuk meningkatkan skill dan keterampilan TKI, dan mengorganisasi para TKI dalam serikat-serikat buruh agar mereka bisa melindungi diri dan memperjuangkan hak-haknya.


Solusi Mendasar
Jika diandaikan harga per Hp untuk setiap TKI adalah Rp500 ribu, maka pemerintah setidaknya harus mempersiapkan anggaran sebesar Rp3 trilyun. Nah, jika harga HP lebih tinggi dari itu, maka anggaran yang diperlukan tentu akan lebih besar.
Bagi FNPBI, anggaran sebesar itu akan lebih berguna jika dipergunakan untuk membangun pabrik atau infrastruktur, yang memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja.
Dalam persoalan ini, FNPBI menekankan kemendesakan untuk segera membenahi industri dalam negeri yang kian terpuruk akibat badai neoliberalisme.
Ada banyak orang yang memaksakan diri untuk mencari pekerjaan di luar negeri dikarenakan lapangan pekerja di dalam negeri sangat sulit.
Disamping itu, kesenjangan upah antara Indonesia dengan Negara lain juga seringkali menjadi penyebab, sehingga perlu untuk menghapuskan politik upah murah yang merendahkan pendapatan pekerja.

Rakyat Miskin Menolak Pendataan Menggunakan Kriteria BPS

Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) menggelar aksi untuk memprotes kebijakan Walikota Bandar Lampung yang melakukan pendataan ulang rakyat miskin dengan mempergunakan 14 kriteria versi BPS.
Aksi dilakukan di depan kantor Walikota Bandar Lampung sejak pagi, yang mana para demonstran menyampaikan “kecaman keras” terhadap Walikota Bandar Lampung, Herman HN.
Ketua SRMI Bandar Lampung, Silvia menegaskan bahwa penggunaan kriteria miskin versi BPS sangat manipulatif, dan cenderung dipergunakan untuk menutupi fakta kemiskinan yang nyata di masyarakat.
Perwakilan demonstran diterima untuk berdialog dengan pejabat yang mewakili Walikota Bandar Lampung, Zainudin, Kasubag Humas Pemkot Bandar Lampung. Akan tetapi, pertemuan ini tidak membawa hasil yang maksimal. Pihak Pemkot hanya menjanjikan pertemuan dengan pihak Walikota Bandar Lampung.

Merugikan Rakyat miskin
Walikota Bandar Lampung yang baru ini, Herman HN, sempat membuat gebrakan di masa awal pemerintahannya, seperti pemberlakuan pengurusan KTP, KK, dan akta kelahiran secara gratis.
Namun, seperti kata pepatah “karena nila setitik, maka rusak susu sebelanga”, kebijakan Pemkot untuk mendata orang miskin dengan menggunakan kriteria miskin versi BPS telah merugikan rakyat miskin.
SRMI Bandar Lampung sangat menyakini, bahwa kebijakan ini akan menyebabkan banyak orang miskin tidak termasuk dalam data kemiskinan pemerintah, sehingga mereka pun luput dari program bantuan.

Pembusukan Negara dan Keresahan Rakyat

Diangkatnya Jaksa Agung dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru kembali memberi kepastian kesetengah-hatian pemerintah menyelesaikan masalah hukum di republik ini. Kemarin (27/11) presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengangkat Basrief Arief sebagai Jaksa Agung menggantikan Hendarman Supandji. Sebelumnya, komisi III DPR RI telah memilih Busyro Muqoddas untuk memimpin KPK. Tidak ada prestasi istimewa yang dicatatkan oleh dua figur ini sehingga wajar saja keraguan terhadap komitmen penegakan hukum di negeri ini semakin menjadi-jadi. Basrief Arief sebelumnya pernah menjadi salah satu petinggi di lembaga kejaksaan tepatnya sebagai Jaksa Agung Muda bidang Intelejen. Sementara Busyro Muqoddas, meski pernah menjabat sebagai ketua Komisi Yudisial, namun dalam kiprah secara kesuluruhan belum cukup teruji komitmennya melawan korupsi. Terpilihnya dua pimpinan lembaga ini melengkapi “komposisi tidak berdaya” dari jajaran penegak hukum termasuk di dalamnya institusi kepolisian.
Disadari atau tidak, keputusan untuk mengangkat figur-figur tersebut akan kembali membawa lembaga-lembaga penegakan hukum ke dalam persoalan lama yang sama: tetap korup, tidak kredibel, mudah disogok, dsb. Dengan demikian, pembusukan terhadap negara, seperti yang sangat telanjang ditunjukkan dalam kasus “jalan-jalan” Gayus Tambunan, akan terus berlanjut. Bahkan, terkesan kuat bahwa keadaan lemahnya kepemimpinan dalam institusi penegak hukum justru sengaja dibuat agar dapat dimanfaatkan oleh penguasa politik. Namun penguasa politik, dengan dalih pembagian fungsi trias-politika, selalu mengelak dan melempar kesalahan pada pihak lain.

Sungguh tak elok pemandangan di tataran elit penguasa ini, ketika pembusukan terus terjadi, dan rakyat semakin dihimpit berbagai kesulitan hidup akibat kesalahan pada kebijakan ekonomi ditambah ketidakbecusan para pejabat negara. Mayoritas aparatus pemerintahan berjalan dalam rencana dan kepentingan mereka sendiri, sementara rakyat tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari penguasa yang selalu tampak sibuk. Buruh tetap bergolak menuntut kondisi hidup yang lebih layak, pedagang dan kaum miskin berjuang melawan penggusuran, petani terus mengalami bencana, sampai TKI yang mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Sajian berita di berbagai media massa akhir-akhir ini menyiratkan parahnya situasi bangsa yang membutuhkan solusi segera.

Berbagai persoalan yang datang silih berganti adalah bukti dari ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono menjalankan amanat. Justru pemerintah seperti sengaja mempertahankan kebusukan tersebut dan lepas dari tanggungjawabnya. Hal ini sangat berbeda dengan tradisi di negeri lain yang lebih maju, di mana penguasa yang masih punya malu akan bertanggungjawab dan mengundurkan diri ketika gagal memimpin. Kesenjangan antara rakyat yang resah dan negara yang membusuk sampai hari ini tidak terjembatani bahkan terus melebar. Sementara kekuatan-kekuatan politik dominan, khususnya di DPR, tidak menunjukkan kehendak untuk mengambil langkah perubahan yang fundamental. Perubahan hanya menyentuh permukaan, atau parahnya sekadar citra empati melalui media massa, seolah peduli tapi hanya di bibir. Sampai kapan kondisi ini akan kita biarkan?

Kekacauan Pelayanan dan Rencana Privatisasi Garuda

Beberapa hari ini masyarakat disuguhi berita pembatalan penerbangan Garuda Indonesia Airways (GIA) yang konon diakibatkan “perubahan sistem operasional”. Pihak maskapai Garuda menjelaskan bahwa saat ini tengah diterapkan sebuah sistem baru untuk mempermudah pelayanan kepada konsumen. Sangat mungkin, perubahan sistem ini berkaitan dengan rencana penggabungan Garuda dalam aliansi dengan maskapai penerbangan internasional lain dalam Skyteam. Sejauh ini hanya hal-hal positif yang diterangkan oleh pihak maskapai maupun pemerintah terkait rencana penggabungan ini.

Sejalan dan searah dengan hal tersebut, sejak tahun 2009 lalu pemerintah, dengan persetujuan DPR, telah merencanakan penjualan maskapai plat merah ini (privatisasi) melalui Initial Public Offering (IPO) sebagaimana yang terjadi terhadap PT. Krakatau Steel. Rencana IPO terhadap Garuda Indonesia akan dilakukan pada bulan Januari 2011. Kita mengenal pola jahat seperti ini yang diberlakukan terhadap berbagai BUMN, dimana kekacauan pelayanan dan atau manajemen kemudian menjadi kambing hitam penjualan aset negara atau alasan penjualan dengan harga yang murah.

Sudah pada tempatnya, bila masyarakat mempertanyakan akal sehat pemerintah ketika kesalahan pada persoalan manajemen justru ditimpakan pada masalah kepemilikan oleh negara. Seperti halnya kita mempertanyakan obral murah Krakatau Steel karena kongkalikong sebagai satu persoalan, dan penjualan Krakatau Steel itu sendiri yang merupakan aset ekonomi strategis milik negara sebagai persoalan yang mendasar. Tumpukan persoalan pada proses penjualan seakan ingin mengelabui pandangan kita terhadap penjualan demi penjualan yang terus terjadi. Kita disibukkan pada persoalan-persoalan ‘teknis’ yang sarat akan skandal korupsi dan sejenisnya, sementara persoalan yang lebih bersifat fundamental (ideologis) seperti sengaja dilupakan.

Disadari bahwa kepemilikan BUMN oleh struktur dan sistem negara yang membusuk seperti sekarang merupakan satu persoalan. Terlebih pemerintah, sebagai pemegang tanggungjawab pengelolaan aset, selalu tampak lepas tangan terhadap berbagai pembusukan yang terjadi, sehingga keadaan ini dijadikan alasan untuk melepas kepemilikan kepada swasta. Situasi yang carut marut ini diperkeruh oleh komentar para ekonom pro-neoliberal yang mengamini privatisasi sebagai langkah pertanggungjawaban kepada publik atau transparansi. Di sini kami mempertanyakan, apakah dengan kepemilikan oleh negara BUMN-BUMN tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap publik?
Kasus kekacauan pelayanan yang terjadi pada maskapai Garuda saat ini kembali menjadi early warning (peringatan dini) bagi segenap kekuatan yang pro-kepentingan nasional untuk menaruh perhatian pada proses privatisasi yang sedang berlangsung dan mencegah kelanjutannya. Terlebih maskapai penerbangan ini mempunyai nilai historis tersendiri sehubungan dengan pengambilalihan korporasi milik bekas penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang ekonom kerakyatan Sri-Edi Swasono dalam sebuah artikel bahwa privatisasi adalah langkah awal asingisasi, yang dalam konteks tersebut menempatkan modal pada posisi sentral-substansial. Mencegah privatisasi bukan dalam maksud untuk menempatkan penguasa/pemerintah sebagai sentral-substansial, melainkan memastikan kepemilikan oleh negara—yang secara mendasar berarti dimiliki oleh rakyat.

Bung Karno dan Konsep Persatuannya


Membicarakan konsep front persatuan, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebutkan nama Bung karno dan gagasan-gagasan politiknya. Ia memegang teguh keyakinan politiknya sejak awal hingga akhir, termasuk keyakinannya soal persatuan nasional yang dinamainya Nasakom, akronim dari nasionalis, agama, dan komunis.
Ada banyak yang mengatakan, pemikiran Bung Karno mengenai Nasakom adalah yang paling orisinil dan acceptable di Indonesia. Sedangkan tak sedikitpula yang mencibir, bahwa persatuan nasional nasakom hanya konsep belaka dan akan berantakan jika dipraktekkan.
Kondisi Yang Melahirkan Gagasan Persatuan
Bung Karno menginjak masa kematangan dalam pergerakan untuk kemerdekaan nasional dengan melalui dua fase penting. Pertama, ketika dia tinggal di Surabaya, yaitu rumah Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan nasional kenalan bapaknya. Rumah Tjokroaminoto merupakan “universitas politik” bagi Bung Karno, dimana ia bisa bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan dan menyerap teori-teori politik mereka.
Kedua, ketika Bung Karno melanjutkan sekolahnya di HBS Bandung, tempat dimana ia mendengarkan kuliah-kuliah dari sosialis-demokrat dan demokrat radikal Belanda. Di Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh, tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.
Kedua pengalaman itu sangat mempengaruhi gagasan-gagasan politik Bung Karno muda. Di satu sisi, dia sangat kagum dengan guru dan sekaligus mertuanya, Tjokroaminoto, tetapi kurang puas dengan langkah moderatnya. Sedangkan, pada sisi yang lain, dia semakin menyerap teori-teori baru (nasionalisme radikal dan sosialisme) dan memantapkan diri untuk terbenam dalam perjuangan anti-kolonialisme dan pembebasan rakyat.
Namun, pada tahun 1921, Bung Karno mulai menyaksikan dinamika yang sangat cepat di kalangan pergerakan; saling kritik, perpecahan, dan persatuan.
Ada beberapa hal yang menandai situasi gerakan pada kurun waktu 1921 hingga 1926 (lahirnya tulisan Bung Karno: Marxisme, nasionalisme, dan islamisme). Pertama, semakin menguatnya pengaruh gerakan rakyat yang menolak untuk mengemis kemajuan kepada pihak kolonialis Belanda. Partai-partai ini, terutama sekali PKI dan Indische Partij, telah memaklumkan sikap non-koperasi terhadap pemerintahan kolonial. Bung Karno dalam sebuah pidato menggebu-gebu di tahun 1923, mengatakan: “….Sudah tiba saatnya untuk tidak lagi mengemis-ngemis, tetapi adalah menuntut kepada tuan-tuan kaum Imperialis.”
Seiring dengan periode surutnya gerakan mengemis-ngemis itu, maka pamor tokoh-tokoh semacam Tjokroaminoto dan Dr. Soetomo pun semakin merosot di mata kaum pergerakan dan rakyat.
Kedua, Bung Karno menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih)  telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.
Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.
Ketiga, Bung Karno menyaksikan kesuksesan setidaknya 17 organisasi mendirikan front persatuan yang diberi nama ‘Konsentrasi Radikal’, yang menggabukan organisasi, diantaranya, Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia.
Konsep Persatuan: Nasionalis, Islamis, Dan Marxis
Pada tahun 1926 Bung Karno mengeluarkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dimana ia menegaskan bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah “kebesaran dan kemerdekaan”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama, dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka.
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” demikian ditulis Bung Karno untuk menyakinkan keharusan front persatuan tiga kekuatan itu.
Dengan meminjam kata-kata Gandhi dan pengalamannya, Bung Karno telah menunjukkan bahwa kaum nasionalis bisa bersatu dengan kaum marxis dan pan-islamisme.
Bung Karno membedakan antara nasionalis sejati, yaitu nasionalis cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, dengan nasionalis chauvinis. Menurut pendapatnya, nasionalis sejati akan terbuka untuk bekerjasama dengan golongan politik lain yang memiliki tujuan sama.
Demikian pula terhadap islam, Bung Karno telah membedakan antara islam kolot dan islam sejati. “Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim,” tulis Bung Karno.
Ditariknya pendekatan mengenai kesamaan antara islam dan marxisme, yaitu sama-sama bersifat sosialistis, dan letakkannya musuh bersama bagi keduanya; kapitalisme (paham riba).
Sementara terhadap kaum Marxis, Bung Karno telah mengambil taktik perjuangan kaum marxis yang baru, yaitu “tidak menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia”. Untuk menyakinkan kaum marxis, Bung Karno mengambil contoh: Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.
Sesuai dengan keadaan Indonesia
Konsep persatuan diantara tiga kekuatan itu tidaklah jatuh dari langit, ataupun dari imajinasi biasa dari Bung Karno, melainkan dipetik dari kenyataan real dari keadaan Indonesia.
Bung Karno adalah salah seorang dari berbagai tokoh gerakan pembebasan nasional yang tidak menginjakkan kakinya di luar negeri, namun menyerap ilmu pergerakannya dari tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan, seperti Tjokroaminoto, Tjipto Mangungkusumo, dan lain-lain.
Pengetahuannya mengenai marxisme didapatkan dari kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah kaum sosialis Belanda, dan paling banyak didapatkan dari berbagai literatur marxis yang dibacanya.
Tetapi Bung Karno bukan seorang dogmatis, ia selalu berhasil meletakkan teori itu dalam syarat-syarat keadaan Indonesia dan dipergunakan untuk mencapai satu tujuan; Indonesia merdeka!
Demkian pula saat mengeluarkan konsep persatuan tiga kekuatan itu, Bung Karno telah mengambilnya dari kenyataan politik di Indonesia. Bagaiaman Bung Karno bisa membangun konsepsi persatuannya:
Pertama, Bung Karno adalah orang yang paling tekun dalam mempelajari berbagai aliran politik dalam gerakan nasional Indonesia. Dalam penyelidikan dan pengamatannya secara langsung, ketiga aliran itulah yang mewakili perjuangan melawan kolonialisme dan mewakili pengaruh luas di kalangan rakyat.
Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat Islam, meskipun tidak pernah terdaftar sebagai pengurus. Dia juga sering menemani Tjokroaminoto dalam menghadiri rapat-rapat akbar (vergadering) dan pertemuan-pertemuan.
Selain itu, ketika beraktivitas di Bandung, Bung Karno juga sangat dekat dengan tokoh nasionalis radikal, khususnya Tjipto Mangungkusumo, yang oleh belanda dikenal dikenal sebagai ”elemen paling berbahaya dalam gerakan rakyat di jawa.
Dari segi pemikiran, Bung Karno sangat dipengaruhi oleh nasionalis-nasionalis progressif, terutama Gandhi dan Sun Yat Sen. Dia juga bersentuhan dengan pemikiran nasionalis-nasionalis lain macam Mazzini, Cavour, dan Garibaldi.
Terhadap gerakan komunis, Bung Karno sangat tekun mempelajari marxisme dan menyebut dirinya sebagai Marxis. Semasa di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno telah berkenalan dengan Snevleet, Baars, dan orang-orang Indonesia: Semaun, Musso, Tan Malaka, dan Alimin. Bahkan Bung Karno mengakui bahwa Marhaenisme, hasil temuannya sendiri, adalah marxisme yang dicocokkan dan dilaksanakan menurut keadaan Indonesia.
Kedua, Bung Karno, seperti juga kaum marxis pada umumnya, mengakui adanya kontradiksi tak terdamaikan antara kolonialisme/imperialisme dengan rakyat Indonesia, atau dalam bahasa Bung Karno: pertentangan sana dan sini; sana mau kesana, sini mau ke sini.
Dengan begitu, tidak benar juga kalau dikatakan front persatuan ala Bung Karno ini terlalu eklektis, sebab pembedaan sini dan sana itu sudah merupakan sebuah pembedaan yang jelas, gamblang.
Bung Karno sangat menyakini, bahwa jika ketiga kekuatan ini dapat disatukan dalam sebuah persatuan, maka dia menjadi gabungan kekuatan yang maha dahsyat. Karena, menurut perhitungan Bung Karno, gabungan kekuatan ini meliputi 90% paling sedikit daripada seluruh rakyat Indonesia.
Lapangan Praktek
Pada bulan September 1927, berpidato di hadapan peserta kongres Partai Sarekat Indonesia, Bung Karno telah mengusulkan untuk mendirikan semacam federasi diantara organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Ide yang dilemparkan Bung Karno mendapat sambutan luas, dan kepada Bung Karno diserahi tugas untuk merancang konsep persatuannya. Dan, pada desember 1927, enam organisasi politik telah bersepakat mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Namun, Bung Karno berhasil menyatukan perbedan-perbedaan diantara organisasi terkait taktik, khususnya soal koperasi dan non-koperasi, dengan mengatasnamakan tujuan kemerdekaan. Akan tetapi, sebagai konsekuensi logisnya, Bung Karno gagal membawa federasi ini menjadi radikal.
Beberapa front persatuan sesudahnya, seperti Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI), dimana Partindo tergabung di dalamnya, sedikit-banyaknya sesuai dengan konsep persatuan ala Bung Karno.
Lebih jauh lagi, rumusan persatuan tiga kekuatan ini akan sangat nampak pula dalam pidato Bung Karno mengenai dasar negara di depan BPUPKI, 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai “Pancasila”. Rumusan Pancasila adalah rumusan dari tiga kekuatan; nasionalis, agamais, dan marxis. Bung Karno mengatakan, pancasila itu dapat diperas menjadi tiga, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi. Ketiga perasan pancasila tersebut, lanjut Bung Karno, masih dapat diperas lagi menjadi satu, atau sering disebut Ekasila, yaitu: Gotong Royong.
Belakangan, Bung Karno mempersamakan antara pancasila, Gotong-royong, dan Nasakom (nasionalis, Agama, dan Komunis). “Nasakom adalah perasan dari pancasila, dus nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong, sebab gotong royong adalah de totale perasan dari pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah gotong royong pula,” demikian kata Bung Karno pada pembukaan kursus kilat kader Nasakom, 1 Juni 1965.
Pada tahun 1959, Soekarno telah memprakarsai pembentukan Front Nasional, yang tujuannya adalah menuntaskan revolusi nasional dan dibentuknya sebuah masyarakat adil dan makmur. Soekarno, yang telah berhasil menyakinkan PKI, berusaha menghidupkan kembali kolaborasi antara kaum nasionalis, agamais, dan marxis untuk menghadapi imperialisme.
PKI sendiri sangat menyambut uluran tangan Bung Karno untuk bersama-sama melawan imperialisme. Dan, di akhir tahun 1960-an, sebagaimana dicatat oleh Rex Mortimer, PKI telah secara terbuka menegaskan untuk mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional.
Sebetulnya Front Nasional dirancang untuk memobilisasi seluruh kekuatan rakyat guna melawan imperialisme. Dan, untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Soekarno menganjurkan agar Front Nasional dibangun hingga ke dusun-dusun. Sayang sekali, niat ini tidak sepenuhnya berjalan dan lebih banyak disabotase.
Di penghujung 1965, ketika sebuah kudeta merangkak berusaha menggusur dirinya dari kekuasaan, Soekarno menolak pertumpahan darah dan memilih untuk terus mengedepankan persatuan nasional. Pada pidato 17 Agustus 1966, Bung Karno menyerukan agar tetap memperkuat persatuan tiga kekuatan, yaitu Nasakom.
Pun, ketika demonstrasi mahasiswa kanan menuntut Bung Karno agar segera membubarkan PKI dan ormas-ormas komunis, Ia telah menolaknya. Dan, dengan suara yang lebih tegas, bahwa Pancasila tidak anti Nas (nasionalis), tidak anti A (agama), dan tidak anti Kom (komunis).
Begitulah, Bung Karno memeluk dengan teguh keyakinan politik dan strategi persatuannya dari awal hingga akhir. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, tetapi Nasakom pernah bergema dalam dalam sejarah politik Indonesia.

Perjuangan Rakyat Sekaroh Untuk Mendapatkan Lahan


 Oleh : andra ashadi

(Relevansi Masyarakat Sekaroh Menuntut Teraksesnya Lahan Pertanian)
Sejak masa pra sejarah nenek moyang kita sudah mampu berpikir sebagaimana umat manusia saat ini, yang di kenal dengan istilah homo sapiens yaitu penduduk yang mampu merefleksikan bagaimana dunia sekelilingnya mempengaruhi kehidupannya sehari hari mereka mencoba untuk menyembah roh, hantu atau dewa dewa yang di yakininya dapat mengontrol kekuatan alam. Di jaman pra sejarah ini juga di kenal pada saat manusia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan hidup berpindah pindah yang kita kenal zaman nomaden dengan ciri produksi meramu dan berburu sehingga pada akhirnya prempuan manusia pra sejarah ini secara tidak sengaja menemukan cara pandang bertani adalah cara maju untuk menjaga eksistensinya di muka bumi.
Sehingga dapat di katakana di jaman yang freminif pun sudah membutuhkan alat produksi untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi.
Ketika berbicara Indonesia dalam kontek hari ini semua orang berbicara Negara kita adalah Negara yang masih agraris, artinya ketika berbicara agraris tentu di benak kita alat produksi utama masyarakat adalah tanah.
Namun yang menjadi persoalan di Indonesia hari ini tidak teraksesnya lahan / tanah (land) sebagai sumberdaya produksi untuk masyarakat yang berprofesi sebagai petani khususnya.
Land refers to all natural resources- all free gifts of nature- which are usable in the productive process.” (Jackson dan McConnell 1988, p.17) land atau alam berkaitan dengan seluruh sumberdaya yang bersipat alami- semua yang sudah tersedia di bumi yang dapat di gunakan dalam proses produksi. Termasuk dalam pengertian sumberdaya alami di antaranya ( tanah, hutan, mineral, minyak bumi, dan air)
Land (lahan) sebagai factor produksi utama (frimery factor) seluruh sumberdaya alam merupakan factor produksi asli karna sudah tersedia dengan sendirinya tampa harus diminta oleh manusia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah mencari cara bagaimana manusia bisa menggali, menggunakan dan memproses kekayayan alam sehingga dapat berlangsung secar terus menerus untuk kesejahtraan umat manusia., persoalan serius juga ketika manusia (petani) mengelola lahannya di benturkan dengan konflik lahan seperti yang terjadi di lombik timur (petani lingkar sekaroh dengan PEMDA Lotim Cq Dinas Kehutanan).

Teraksesnya Lahan Pertanian Bukan Berarti Merusak Lingkungan
Konsep pengelolan lingkungan hidup yang di buat bangsa kita sejatinya untuk mempertahankan eksistesi manusia di muka bumi. Lalu apa jadinya ketika manusia yang notabenya sebagi tujuan pengelolaan lingkungan hidup itu tidak mampu bertahan hidup karna tidak dapat makan. Jika di runut tidak makan karna tidak bekerja, tidak bekerja karna tidak ada pekerjan, inilah logika yang pernah di sebut pendiri bangsa kita Bungkarno sebagai hokum alam. Atau undang-undang alam.
Sehingga ketika masyarakat lingkar Sekaroh menuntut teraksesnya lahan jangan sampai di katakana tidak pro kelestarian lingkungan.
Karna pengertian lingkungan hidup yang tercantum dalam UU No 4 Tahun 1982 atau No 23 Tahun 1997 di difinisikan sebagai satu kesatuan ruang yang terdi dari benda, daya, keadaan, mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainya. Kelompok benda dan daya di kategorikan kepada kelompok komponen fisik, makhluk hidup yang terdiri dari satwa dan tumbuh-tumbuhan termasuk, dalam komponen biotis, sedangkan makhluk hidup yang berupa manusia termasuk dalam komponen social, budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Jadi dalam pembagian komponen lingkungan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen utama yaitu Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat ).

Pengolahan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan seperti penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup ( UU No 23 Tahun 1997, ps 1 dan 2 ). Pemanfaatan dan penataan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya untuk mendaya gunakan sumber daya alam untuk kepentingan kehidupan dan kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Upaya lain dalam melestarikan lingkungan adalah pemeliharaan, pengendalian, pengawasan, dan pengembangan biasanya dikaitkan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan.
Memahami tentang bagaimana penyelenggaraan lingkungan hidup dalam hal ini diperlukan azas yang akan selslu menjadi pedoman pelaksanaannya. Seperti dikemukakan oleh ( Darma Kusuma ), azas pengelolaan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan, perlu dibedakan antara pelestarian lingkungan dan pelestarian kemampuan lingkungan.
Pelestarian lingkungn mengandung arti tidak diperbolehkannya upaya untuk memanfaatkan atau mengolah sumber daya lingkungan. Sebaliknya pelestarian kemampuan lingkungan memperbolehkan upaya untuk memanfaatkan atau mengolah sumber daya lingkungan asalkan dilaksanakan secara bijaksana sehingga terwujud pembangunan yang berkelanjutan.
Azas tersebut diatas dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan berkesinambungan sehingga tercapai tujuan yang diharapakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terciptanya keselarasan hubungan anatara manusia, dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sumber daya secara arif dan bijaksana merupakan dinamisasi kehidupan antara manusia dan alam.

Perjuangan Masyarakat Lingkar Sekaroh mengakses lahan
Seperti yang di katakana di atas azas pengelolaan lingkungan “azas pelestarian kemampuan lingkungan memberikan ruang untuk mempaatkan atau mengolah sumberdaya lingkungan, termasuk hutan produktif itu sendiri.
Namun dalam kontek ini perjuangna masyarakat lingkar Sekaroh pun mempunyai pandangan hutan produktif tidak boleh di eksploitasi. Hal ini nyata terlihat dari flatpom perjuanganya yakni membagi lingkar Sekaroh menjadi tiga zona. (Zona hutan lindung, zona pengembala, zona pertanian).
Konsep ini adalah konsep yang kalau di analisa secara mendalam di lihat dari semua aspek: Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat ) adalah konsef yang pro klestarian lingkungan. Dimana Zona hutan lindung di peruntukkan untuk menjaga keseimbangan O2 di bumi dan khususnya di lingkar sekaroh. Zona peternakan/pengembalaan adalah konsep untuk menjaga hutan itu sendiri karna mustahil akan ada hutan ketika mahluk hidup (hewan) terutama yang di jadikan komuditi ekonomi tidak di tata dengan rapi alias di berikan ruang tersendiri. Karena hewan hewan inilah terutama hewan ternak yang kan merusak hutan. Zona lahan pertanian: seperti yang di ulas di atas manusia agraris membutuhkan lahan sebagai alat produksi utama, ketika ini tidak diberikan akses seolah ingin memusnahkan umat manusia dalam hal ini masyarakat lingkar sekaroh.

Kesimpulan:
1. Berbicara lingkungan tidak hanya berbicara menjaga kelestarian hutan, tetapi berbicara kelestarian lingkungtan haruslah melihat komponenen kelestarian lingkungan secara menyeluruh yakni Fisik, biotis, sosekbudkesmas ( social, ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat ).
2. Tujuan dari konsep pengelolaan lingkungan adalah untuk menjaga eksistensi manusia di muka bumi, jadi sangat tidak masuk akal ketika pengelolaan lingkungan di jadikan alasan untuk memangkas hak hak manusia untuk mengakses lahan sebagai alat utama produksi masyarakat petani.

*) Penulis adalah Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Eskot Lombok Timur

Kisah Kaum Merah Di Jong Java Cabang Surabaya

 Oleh : Ulfa Ilyas
Kita sudah sering mendengar soal kaum merah di dalam tubuh Sarekat Islam, yang juga dikenal dengan nama SI-merah. Sekarang kita akan membicarakan soal kisah “kaum merah” di dalam Jong Java, organisasi pemuda yang berafiliasi dengan organisasi kaum ningrat/priayi—Budi Oetomo.
Pada tahun 1915, di Jakarta telah berdiri organisasi pergerakan pemuda “Tri Koro Darmo”, yang pada kongresnya di Solo tahun 1918, telah mengubah namanya menjadi Jong Java.

Perhimpunan yang anti-politik
Sebagai organisasi pemuda, sebagaimana dicatat Hanz Van Miert, Jong Java menginginkan Java yang bebas (sebagai tri-tunggal) dalam suatu federasi Hindia. Namun, seperti juga induknya Budi Oetomo, Jong Java sangat menolak gerakan politik dan menganjurkan anggotanya untuk tidak berpolitik.
Meski berusaha menjauh dari politik, tetapi anggota-anggotanya tetap menaruh “rasa ingin tahu” pada politik. Terbukti, dalam sebuah kongres di Jogjakarta tahun 1919, para pemuda turunan ningrat ini terpaku ketika seorang tokoh komunis berbicara lantang; “sudah saatnya anggota Jong Java untuk berhimpun di pihak kaum proletar dalam perjuangan melawan kapitalisme yang sangat merugikan.”
Meski anak turunan ningrat dan sebagian besar misinya sama dengan Boedi Oetomo, tetapi anggota-anggota Jong Java akan marah jika dipersamakan dengan organisasi tua tersebut.
Sebagai pelajar di sekolah-sekolah Belanda, mereka diwajibkan untuk konsentrasi pada studi dan tidak perlu ikut-ikut gerakan politik. Ini pula yang dirasakan oleh seorang pemuda, Soekarno. Saatnya dirinya berpidato keras dalam sebuah kelompok studi di sekolahnya, ia telah mendapat teguran dari direktur sekolahnya, Tuan Bot.

Cabang Surabaya Yang Radikal
Cabang Jong Java di Surabaya berdiri pada 1 Februari 1920. Saat itu, Surabaya boleh dikatakan sebagai pusatnya kaum pergerakan, yaitu markasnya Sarekat Islam (SI) yang diketuai Tjokroaminoto dan juga pernah menjadi basis ISDV (Snevleet dan kawan-kawan).
Di cabang Surabaya, tokoh paling menonjol dan berpendirian radikal saat itu adalah Soekarno, yang kelak menjadi pemimpin pembebasan nasional Indonesia. Soekarno, yang ketika itu mendapatkan posisi penting, berusaha mengubah organisasi cabang Surabaya dari sebuah “klub kaum inteligensia muda” menjadi organisasi perjuangan politik yang menghimpun massa rakyat. Soekarno mengatakan, “tidak mungkin bisa memimpin rakyat, tanpa menyatukan diri dengan mereka.”
Soekarno pula, sebagai gagasan untuk menyatu dengan rakyat dan melahirkan identitas nasional, telah menganjurkan penggunaan “peci” sebagai simbol perjuangan nasional melawan kolonialisme. Soekarno berkata: “ Kita memerlukan simbol yang khas Indonesia, dan untuk itu bisa digunakan peci, yang mendekatkan kita kepada rakyat.”
Selain Soekarno, ada pemuda-pemuda lain yang sudah terbiasa menjadi pemberontak di sekolah-sekolahnya. Para pemuda-pemuda ini mulai melihat Boedi Oetomo secara kritis dan mempertanyakan sikap lunak kaum tua.
Kalangan radikal di cabang Surabaya, antara lain, berasal dari BAS (Burgerlijke Avond School), MULO, MTS (Middelbare Technische School), dan HBS—tempat sekolahnya Bung Karno.

Persaingan Kaum Merah dan Kaum Halus
Kedua istilah ini saya ambil dari Hans Van Miert, yang menceritakan beberapa kejadian seputar pertarungan dua golongan di dalam tubuh Jong Java: progressif/pembaharu (kaum merah) versus konservatif/aristocrat (kaum halus).
Diceritakan misalnya, pada bulan Oktober 1920 ketika cabang Surabaya merencanakan untuk melakukan pawai, telah terjadi pertentangan antara kaum merah dengan kaum halus. Kaum merah menghendaki penyelenggaraan pawai yang demokratis, sementara kaum halus menolak karena dianggap merendahkan derajat kaum ningrat.
Juga pada bulan Desember 1920, salah seorang kelompok merah, yaitu Soepardi dari pelajar MULO, mengusulkan agar kelompok-kelompok Jong Java segera didirikan di sekolah-sekolah. Usul tersebut ditolak oleh kalangan putih, oleh orang yang bernama Taberani, yang sering dicemooh namanya menjadi “Tak Berani”. Soepardi kemudian berkata: “‎”He, Tuan “Taberani”, tuan ini ternak atau manusia? kalau manusia, tentu tuan harus mendukung aksi kita di sekolah.”
Pada suatu hari di tahun 1921, di hadapan ratusan orang dalam sebuah pertemuan Jong Java cabang Surabaya, Soekarno (merah) telah berhadap-hadapan dengan Soegito (halus). Soekarno menginginkan agar ceramahnya disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa-Dipa (Ngoko), bahasanya kaum pembaru. Soegito, selaku ketua sidang, melarang Soekarno menggunakan bahasa tersebut dan menganjurkan agar ceramah dilanjutkan dengan bahasa Belanda. Sebaliknya, Soekarno pun menolak menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, rapat itupun bubar disertai dengan teriakan-teriakan dan bunyi gamelan.
Sebulan kemudian, pertikaian kembali terjadi diantara kedua kubu. Soekarno dan kalangan anggota merah mengusulkan agar keanggotaan Jong Java diperluas pada sekolah-sekolah menengah dan lanjutan, termasuk yang tidak menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, kalangan merah menginginkan agar surat kabar Jong Java menggunakan bahasa melayu, bukan bahasa belanda. Mereka juga mengusulkan agar bahasa melayu diperbolehkan dipergunakan dalam rapat-rapat.  Kelompok konservatif (halus) menolak keseluruhan gagasan ini.

Puncak pertentangan ini meletus di kongres keempat Jong Java tahun 1921, yang diselenggarakan di Bandung. Kubu kaum merah, terutama dari cabang Surabaya dan Semarang yang dikomandoi oleh pemuda Soekarno, menggunakan kongres ini untuk berbicara mengenai penderitaan rakyat dan “kapitalisme yang terkutuk”. Soekarno kembali mengusulkan agar bahasa Djawa-dipa dipergunakan, dan telah memperkuat argumentasinya dengan mengutip slogan revolusi Perancis: Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan.
Usul Soekarno dan kelompok merah mendapat tantangan keras dari cabang Batavia, yang saat itu dipimpin oleh Basoeki dan Soepomo. Sebaliknya, kedua anggota kubu “halus” ini menggunakan semboyan teosof Belanda, Fournier, yang berbunyi: “kepala yang dingin dan hati yang gembira.”
Semaun, tokoh komunis dari PKI yang hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan, mengutuk dengan keras “pers putih/kanan” yang bertepuk tangan menyambut pidato kubu “putih”, Basoeki.
Konon, pertempuran kedua kubu di kongres ini dimenangkan oleh kaum merah, dan Jong Java akhirnya harus menerima gagasan untuk berpolitik. Mengomentari kemenangan itu, harian “Sinar Hindia”—milik PKI/SI merah telah menyatakan dukungan atas peralihan Jong Java dari non-politis menjadi politis.

di kutip dari : http://berdikarionline.com/jeda/20101116/kisah-kaum-merah-di-jong-java-cabang-surabaya.html

wibiya widget

MELAWAN atau MISKIN

 
Powered by Blogger